Lilypie

Lilypie - Personal pictureLilypie Second Birthday tickers

Sabtu, 31 Desember 2011

Menantimu Diujung Waktuku...


‎"Bukankah Adam dan Hawa sempat terpisah jarak dan waktu, ketika sama-sama diturunkan ke bumi? Hingga nyata-nyatanya Allah kembali mempertemukan mereka. Maka bersabarlah."

Meski ku berharap kisahku berakhir seperti romansa cinta Fatimah dan Ali.
Namun sekiranya KAU menghendaki lain, dan terukir seperti sejarah cinta Salman al-Farisi, itupun tak akan ku sesali.
Sekiranya tak ada cinta insani untukku, Cukuplah Cinta Allah penyuluh hidupku.
Kelak kan ada cinta insani untukku sebagaimana cintaku terhadap-NYA...Insyaallah...

Ingin memiliki kesabaran yang luas dan dimudahkan dalam ikhlas, walau nyatanya tak mudah....

Rabu, 28 Desember 2011

Niat Suci Kita


Saat kau MENYUKAI seseorang, kau ingin memilikinya untuk keegoisanmu sendiri.
Saat kau MENYAYANGI seseorang, kau ingin sekali membuatnya bahagia dan bukan untuk dirimu sendiri.
Saat kau MENCINTAI seseorang, kau akan melakukan apapun untuk kebahagiaannya walaupun kau harus mengorbankan kebahagiaanmu.

SUKA adalah saat ia menangis, kau akan berkata ?Sudahlah, jangan menangis.?
SAYANG adalah saat ia menangis dan kau akan menangis bersamanya.
CINTA adalah saat ia menangis dan kau akan membiarkannya menangis di pundakmu sambil berkata, ?Mari kita selesaikan masalah ini bersama - sama.?

SUKA adalah saat kau melihatnya kau akan berkata, ?Ia sangat cantik dan menawan.?
SAYANG adalah saat kau melihatnya kau akan melihatnya dari hatimu dan bukan matamu.
CINTA adalah saat kau melihatnya kau akan berkata, ?Buatku dia adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan padaku..?

Pada saat orang yang kau SUKAi menyakitimu, maka kau akan marah dan tak mau lagi bicara padanya.
Pada saat orang yang kau SAYANGi menyakitimu, engkau akan menangis untuknya.
Pada saat orang yang kau CINTAi menyakitimu, kau akan berkata, ?Tak apa dia hanya tak tau apa yang dia lakukan.?

Pada saat kau SUKA padanya, kau akan MEMAKSANYA untuk menyukaimu.
Pada saat kau SAYANG padanya, kau akan MEMBIARKANNYA MEMILIH.
Pada saat kau CINTA padanya, kau akan selalu MENANTINYA dengan setia dan tulus?

SUKA adalah hal yang menuntut.
SAYANG adalah hal memberi dan menerima.
CINTA adalah hal yang memberi dengan rela.

Ya Robbi, sesungguhnya hanya padamu kami memohon....
mudahkanlah serta lancarkanlah urusan kami atas niat suci kami ini,,,,
-Aamiin-

Rabu, 21 Desember 2011

Sakinah Bersamamu

cinta menurutku tak berwarna

ia menjadi jingga sebagaimana kau memaknainya

ia pun menjadi kuning, biru dan merah

sebagaimana kau menginginkannya

cinta bagiku tak ubahnya kumpulan narasi

tentang kejujuran dan keberanian

tentang kemarahan dan kasih sayang

cinta adalah lukisan yang unik dan tak terkatakan

sebab ia menenggelamkan kita

pada angan-angan dan mimpi yang abadi

dan cintaku padamu

adalah surga yang tak bisa kumasuki

jika tanpamu

Sabtu, 04 Juni 2011

Lamaran Mana yang Layak Diterima?


Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami

Ehm…kenapa ya akhir-akhir ini kok aku makin mencintainya? lirih seorang suami dalam akun facebooknya, dia sampai menulis :

ternyata, di balik sifat pendiammu, engkau begitu rajin mengurus rumah dan anak-anak kita, belum lagi, ternyata kian hari, masakanmu kian cocok dengan seleraku, gimana ya? kok jadi makin cinta neh…(isi hati seorang suami)

sedang asyik-asyiknya mengenang masa-masa indah bersama istri, sang suami yang juga ayah ini mendapat kiriman email dari seorang ustadz di kota-nya. Sebuah email yang berisi tentang hubungan suami istri yang begitu menjadi cobaan bagi keduanya, moga kita Allah jadikan pasangan suami istri yang sakinah ma waddad dan war rahmah.



Berikut kisahnya :



Perkawinan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.



Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.



Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.



Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.



Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.



Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.



Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.



Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama

Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.



Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah Ta'ala, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.



Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.



Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.



Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.



Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.



Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.



Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.



Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.



Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.



Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.



Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.



Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.



(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)



http://seorangayah.wordpress.com/2011/01/18/tiga-bulan-tidak-mampu-memandang-wajah-suami/



http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150095885072698&id=1057983288



Berikut adalah salah satu fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin tentang kriteria calon suami yang hendaknya dicari oleh seorang muslimah.





[Pertanyaan] Apa yang paling penting dan dasar bagi seorang wanita dalam mencari suami dan bukankah menolak lamaran lelaki yang baik dengan alasan duniawi dapat menyebabkan murkanya Allah kepada si wanita?



[Jawab] Sifat yang terpenting yang harus dicari dalam diri si pelamar adalah akhlaqnya yang baik beserta agamanya (kebiasaannya dalam menunaikan ajaran). Kesehatannya dan garis keturunannya, ini adalah aspek yang kedua. Yang terpenting adalah si pelamar harus baik dalam akhlaq dan agamanya – dengan mempertimbangkan sisi keimanan dan akhlaq baiknya, si wanita tidak akan kehilangan rasa hormatnya, jika ia tetap bersamanya, ia akan memperlakukan istrinya dalam kebaikan, dan jika ia menceraikan istrinya, akan dilakukannya dengan tindakan yang bijak. Selanjuntya, keimanan dan akhlaq yang baik akan dapat membawa keberkahan buat si wanita dan anak-anaknya dimana dia dapat belajar akhlaq dan agama yang baik dari suaminya.



Tapi jika si lelaki pelamar tidak memiliki aspek ini maka hendaklah si wanita menolaknya, apalagi jika dia lalai dalam shalatnya atau dikenal sebagai pecandu minuman keras – waiyudzubillah.. Jadi, hal yang paling penting adalah bagi para wanita untuk memperhatikan kebaikan akhlaqnya dan penerapan ilmu agamanya. Pertimbangan garis keturunan merupakan aspek tambahan yang jika dapat dipenuhi maka akan semakin pas. Sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,



“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.” [HR. Muslim]



Bagaimanapun jika ditemukan calon yang semakin serupa dengan kedudukan si wanita maka itu semakin baik.

Sumber: Fataawal-Mar’ah Vol. 1. p.50 dari situs TROID

Dari fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa

1.

Pertimbangan utama dalam mencari suami dan menilai lamaran seorang lelaki adalah faktor agamanya dan akhlaqnya, pilihlah yang agama dan akhlaknya yang baik seperti hadits yang sudah disebutkan.

2.

Lalu jika ada datang pelamar yang memiliki sifat-sifat di bawah ini, sebaiknya dihindari adalah:

* Lalai dalam shalat lima waktu dan shalat Jum’at
* Pencandu minuman keras (pemabok)
* Pecandu narboka

Tambahan lagi, tipe lelaki yang harus dihindari:

* Pezina yang belum bertaubat
* Lelaki yang tidak memiliki pekerjaan
* Perokok
* Banci
* Penjudi
* Lelaki yang bekerja di bidang yang berkaitan dengan hal-hal yang telah diharamkan, seperti riba (bank), penerima suap, berkaitan dengan musik, dan lainnya
* Lelaki yang bakhil / pelit

Semoga kita dijauhi dari lelaki-lelaki yang seperti itu. Allahumma amiin…

www.shalihah.com

Sabtu, 02 April 2011

Mundur Satu Langkah bukan berarti tak mencintai...

Hari ini sudah kuputuskan untuk mundur satu langkah dari jalan cerita ini...
jalan cerita yang sudah kita buat...

bukan berarti aku tak cinta,,,
tapi justru aku terlalu cinta...

selama ini bahkan aku rela menghabiskan hari-hariku diatas namamu..
sadarkah dirimu??
atau aku yang terlalu bodoh???
masih berharap, meski sudah kau relakan hatimu untuknya??

berbicara hati, maka akan berbicara perasaan...
diatas dilema ini, aku bertanya :
"masih haruskah aku bertahan hingga menunggu takdir yang datang menjawabnya??"
jika itu jawabannya, maka pasrahlah yang hanya bisa kulakukan...

tapi yang pasti,
rindu akan cintamu selalu tetap dihatiku...

-->1542k6

Kamis, 24 Maret 2011

Puzzle 1 *Keyakinan Hati

Di awal, semua begitu terasa indah..
Saat aku bisa mengenalmu,,,
menantimu dihatiku,,mungkin suatu yang salah....

Tapi, semua telah hancur,,
Kedua sayap patah,,rapuh...
Bahkan untuk mengepakkan pun tak sanggup...
Maka saat itu tak pernah lagi kutemukan keramahan yang menjamahi hati....


Bertahun-tahun harus aku lewati,,
menyusuri lorong waktu antara cita dan cinta,
yang memisahkan ruang dan jarak kita...
kucoba tepis semua kenangan yang masih tersisa dihati...


nyatanya tak mudah.....
angin yang bertiup terlalu kencang,,,


hingga suatu saat, waktu mempertemukan kita kembali...
tapi, dengan kenyataan yang sulit untuk diterima oleh hatiku...
ternyata hatimu memilih"nya"....


tapi setiap saat ketika aku ingin menjauh,,
mengapa ALLAH selalu membuat kita dekat,,
inikah jawabannya???
oleh sebab itu, saat ini ku usahakan untuk menyatukan kembali puing-puing kesedihan yang mendalam atas dasar keyakinan...

mungkin ini bagian dari rencanaNYA yang indah...
Ia ingin masa lalu kita yang pahit menjadi penguat kita dimasa depan,,


"Salahkah jika telah terpaut??
bukannya tak ingin mencari sebuah jawaban yang lain,,
tapi hati ternyata memaksa untuk tetap bertahan disini..."


Jika dikatakan terluka,,
iya.....
bahkan sangat terluka...
ketika kita harus kehilangan "sesuatu" yang sangat berarti...
Tapi,,
ada kata-kata yang slalu kuingat :
"Mengapa harus merasa kehilangan, ketika kita tidak pernah memiliki??"

di 1542k11.....
berarti tepat 5 tahun aku menanti tanpa pamrih,,,,
yaa...itulah pilihanku
pilihanku atasmu...

sangat berharap,,ditahun ini puzzle hati akan menyatu oleh suatu ikatan janji suci,,
karna sudah kupasrahkan semuanya pada ALLAH Ta'ala, Dzat yang Maha Pembolak-balik Hati...

*amin ya Rabbal 'alamin
(:

*ditulis untuk direnungi.......

Sabtu, 19 Maret 2011

Sebuah Nasihat Untuk Isteriku,,,


Bersabarlah wahai istriku…



Ketika keadaan mendadak berubah tak seperti biasa. Karena engkau tahu jalan hidup tak selamanya sesuai dengan harapan kita. Karena bahagia tak bisa selamanya kita rasa. Karena Allah telah menuliskan semuanya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman:



”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. al-Hadiid: 22-23)



Dan ketika engkau merasa lelah dan bimbang, datang dan bersandarlah di pundakku. Supaya dapat kukisahkan lagi sirah Nabi yang dapat menyemangatimu. Dan bisa kulihat lagi senyum manis di wajahmu. Karena senyuman adalah lengkungan yang dapat meluruskan segalanya.



Oleh karena itu, bersabarlah istriku...



Karena ujian akan selalu ada dalam tiap cerita manusia. Dan janganlah engkau banyak mengeluh. Tapi berbaik sangkalah pada Rabb-mu yang telah memilih kita menjadi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Ingatkah engkau pada salah satu firman-Nya:



”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-’Ankabut: 2-3)



Bukankah engkau selalu memohon kepada ar-Rahmaan agar kita digolongkan kepada orang-orang beriman? Maka ketahuilah istriku, inilah sabilul mukminin (jalan orang-orang beriman). Jalan mereka tidak senantiasa mudah. Dan jalan mereka tidak senantiasa lapang.



Maka sabarkanlah dirimu wahai istriku...



Sebagaimana para Shahabat dan Salafush Shalih telah bersabar atas apa yang Allah tetapkan atas mereka. Sesungguhnya kita tidak pernah mengetahui apa yang baik untuk kita, melainkan telah Allah tetapkan dengan ilmu-Nya yang tak berbatas. Ingatkah engkau pada firman-firman-Nya:



”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216)



“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. al-Qamar: 49)



”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS. al-An’aam: 59)



Maka janganlah engkau ingkar terhadap apa yang engkau sendiri telah meyakininya.



Itulah kenapa aku selalu memintamu untuk bersabar wahai istriku...



Karena sabar itu adalah perisai seorang mukmin. Dan tidaklah seorang mukmin itu mendapatkan jannah melainkan dia bersabar atas ketetapan Rabb-nya. Dan sabarmu itu laksana pedang tajam yang tidak akan salah sasaran, pasukan yang tak terkalahkan, dan benteng kokoh yang tak dapat diruntuhkan.



Ketahuilah istriku...



Sabar itu bersaudara dengan kemenangan. Dan dari setiap masalah akan ada jalan keluar yang datang bersama kesabaran. Bukankah Allah Ta’ala telah mengisyaratkan dalam firman-Nya:



”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6)



”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)



Wahai istriku...



Sabar itu adalah tali seorang mukmin yang dia berpegang kepadanya karena keimanannya. Tidaklah seorang mukmin itu memiliki keimanan melainkan telah ada kesabaran dalam dirinya. Dan iman itu terdiri dari sabar dan syukur, maka jagalah dua hal ini olehmu.



”Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang-orang yang sabar dan bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5; Luqman: 31; Saba’: 19; dan asy-Syura’: 33)



Ingatlah wahai istriku...



Allah ar-Rahmaan telah menjamin balasan dan kebaikan bagi orang-orang yang sabar dalam firman-firman-Nya:



”Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,” (QS. Al-Qashash: 54)



”Katakanlah: ”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. az-Zumar: 10)



”kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Huud: 11)



”Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (al-Fushshilat: 35)



”Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. an-Nahl: 126)



Maka tetapkanlah dirimu untuk senantiasa bersabar wahai istriku...



http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com/2009/02/sebuah-nasihat-untuk-istriku.html



Catatan Terkait:



HAKIKAT SABARhttp://www.facebook.com/note.php?note_id=215132765174

Tanggung Jawabmu dirumah Suamimu


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?

Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!

Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang? Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.

Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)

Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum. Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)

Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan pengaturannya terhadap harta tuannya.” (Al-Ikmal, 6/230)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.

Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)

Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:

مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ

“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas )

Dan juga hadits:

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)

Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Mengayuh Biduk, hal. 76-78. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=625)

Tanggung Jawabmu dirumah Suamimu

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?

Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!

Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang? Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.

Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)

Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum. Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)

Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan pengaturannya terhadap harta tuannya.” (Al-Ikmal, 6/230)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.

Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)

Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:

مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ

“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas )

Dan juga hadits:

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)

Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Mengayuh Biduk, hal. 76-78. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=625)

Sepuluh Wasiat Untuk Istri yang Mendambakan Keluarga Bahagian tanpa problem


Penulis: Mazin bin Abdul Karim Al-Farih

Berikut ini sepuluh wasiat untuk wanita, untuk istri, untuk ibu rumah tangga dan ibunya anak-anak yang ingin menjadikan rumahnya sebagai pondok yang tenang dan tempat nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, ketenangan dan kelembutan.

Wahai wanita mukminah!

Sepuluh wasiat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau membuat ridla Tuhanmu, engau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga tahtamu.

Wasiat Pertama: Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah!!

Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncangkan kerajaan. Maka janganlah engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah dan jangan engkau seperti Fulanah yang telah bermaksiat kepada Allah… Maka ia berkata dengan menyesal penuh tangis setelah dicerai oleh sang suami: “Ketaatan menyatukan kami dan maksiat menceraikan kami…”

Wahai hamba Allah… Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan menjaga untukmu suamimu dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan mencerai-beraikan keutuhannya.

Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata “Aku mohon ampun kepada Allah… itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)…”

Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:

- Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar. Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya’ dan sum’ah.

- Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).” (Al Hujuraat: 11)

- Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهُمْ وَأَبْغَضَ الْبِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهُمْ

“Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.”1

- Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu dan pendidik-pendidik yang kafir.

- Meniru wanita-wanita kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”2

- Menyaksikan film-film porno dan mendengarkan nyanyian.

- Membaca majalah-majalah lawakan/humor.

- Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan mendesak.

- Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.3

- Bersahabat dengan wanita-wantia fajir dan fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ

“Seseorang itu menurut agama temannya.”4

- Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah)

Wasiat kedua: Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami maka ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah Ta`ala). Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang berupaya memahami suaminya.

Berkata sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah.”

Maka berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi.”

Berkata sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’”

Aku jawab: “Ia sebaik-baik istri.”

Ibu mertuaku berkata: “Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu.”

Berkata sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya.”5

Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Wasiat ketiga: Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”6

Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُؤُوْسُهُمَا: عَبْدٌ آبَق مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ

“Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali.”7

Karena itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam memberi nasehat kepada para wanita: “Wahai sekalian wanita, seandainya kalian mengetahui hak suami-suami kalian atas diri kalian niscaya akan ada seorang wanita di antara kalian yang mengusap debu dari kedua kaki suaminya dengan pipinya.”8

Engkau termasuk sebaik-baik wanita!!

Dengan ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjadi sebaik-baik wanita, dengan izin Allah. Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wanita bagaimanakah yang terbaik?” Beliau menjawab:

اَلَّتِى تَسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Yang menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika diperintah dan ia tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai suaminya.” (Isnadnya hasan)

Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اَلْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، فَلْتَدْخُلُ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Bila seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”9

Wasiat keempat: Bersikap qana’ah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridla dengan apa yang diberikan (suami) untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Dalam riwayat disebutkan “Wanita yang paling besar barakahnya.” Wahai siapa gerangan wanita itu?! Apakah dia yang menghambur-hamburkan harta menuruti selera syahwatnya dan mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan pakaian termahal walau suaminya harus berhutang kepada teman-temannya untuk membayar harganya?! Sekali-kali tidak… demi Allah, namun (mereka adalah):

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةٌ، أَيْسَرُّهُنَّ مُؤْنَةً

“Wanita yang paling besar barakahnya adalah yang paling ringan maharnya.”10

Renungkanlah wahai suadariku muslimah adabnya wanita salaf radliallahu ‘anhunna… Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat padanya. Apa wasiatnya? Ia berkata kepada sang suami: “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa sabar dari api neraka…”

Adapun sebagian wanita kita pada hari ini apa yang mereka wasiatkan kepada suaminya jika hendak keluar rumah?! Tak perlu pertanyaan ini dijawab karena aku yakin engkau lebih tahu jawabannya dari pada diriku.

Wasiat kelima: Baik dalam mengatur urusan rumah, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

Renungkanlah semoga Allah menjagamu, kisah seorang wanita, istri seorang tukang kayu… Ia bercerita: “Jika suamiku keluar mencari kayu (mengumpulkan kayu dari gunung) aku ikut merasakan kesulitan yang ia temui dalam mencari rezki, dan aku turut merasakan hausnya yang sangat di gunung hingga hampir-hampir tenggorokanku terbakar. Maka aku persiapkan untuknya air yang dingin hingga ia dapat meminumnya jika ia datang. Aku menata dan merapikan barang-barangku (perabot rumah tangga) dan aku persiapkan hidangan makan untuknya. Kemudian aku berdiri menantinya dengan mengenakan pakaianku yang paling bagus. Ketika ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya sebagaimana pengantin menyambut kekasihnya yang dicintai, dalam keadaan aku pasrahkan diriku padanya… Jika ia ingin beristirahat maka aku membantunya dan jika ia menginginkan diriku aku pun berada di antara kedua tangannya seperti anak perempuan kecil yang dimainkan oleh ayahnya.”

Wasiat keenam: Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya. Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

Berapa banyak rumah tangga yang masuk padanya pertikaian dan perselisihan disebabkan buruknya sikap istri terhadap ibu suaminya dan tidak adanya perhatian akan haknya. Ingatlah wahai hamba Allah, sesungguhnya yang bergadang dan memelihara pria yang sekarang menjadi suamimu adalah ibu ini, maka jagalah dia atas kesungguhannya dan hargailah apa yang telah dilakukannya. Semoga Allah menjaga dan memeliharamu. Maka adakah balasan bagi kebaikan selain kebaikan?

Wasiat ketujuh: Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam duka cita dan kesedihannya. Aku ingin mengingatkan engkau dengan seorang wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati suami. Bahkan ia terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. Suatu hari istri yang lain itu (yakni Aisyah radliallahu ‘anha) berkata:

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِلنَّبِيِّ؟ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ هَلَكَتْ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، لَمَّا كُنْتُ أَسْمَعُهُ يَذْكُرُهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal ia meninggal sebelum beliau menikahiku, mana kala aku mendengar beliau selalu menyebutnya.”11

Dalam riwayat lain:

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorangpun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebutnya.”12

Suatu kali Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau menyebut Khadijah:

كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلا خَدِيْجَةُ فَيَقُولُ لَهَا إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ

“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada Aisyah: ‘Khadijah itu begini dan begini.’”13

Dalam riwayat Ahmad pada Musnadnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” (dalam hadits diatas) adalah sabda beliau:

آمَنَتْبِي حِيْنَ كَفَرَ النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْكَذَّبَنِي النَّاسُ رَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْحَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللهُ مِنْهَا الوَلَد

“Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang meng-haramkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezki berupa anak darinya.”14

Dialah Khadijah yang seorangpun tak akan lupa bagaimana ia mengokohkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi dorongan kepada beliau. Dan ia menyerahkan semua yang dimilikinya di bawah pengaturan beliau dalam rangka menyampaikan agama Allah kepada seluruh alam.

Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama:

وَاللهُ لا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.”15

Jadilah engkau wahai saudari muslimah seperi Khadijah, semoga Allah meridhainya dan meridlai kita semua.

Wasiat kedelapan: Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaanya.

Siapa yang tidak tahu berterimakasih kepada manusia, ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Maka janganlah meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan padanya sepanjang masa (tahun), kemudian ia melihat sedikit kesalahan dari suaminya, ia berkata: “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ اَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ ذَلِكَ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

“Wahai sekalian wanita bersedekahlah karena aku melihat mayoritas penduduk nereka adalah kalian.” Maka mereka (para wanita) berkata: “Ya Rasulullah kepada demikian?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.”16

Mengkufuri kebikan suami adalah menentang keutamaan suami dan tidak menunaikan haknya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat engkau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu dalam hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hakmu. Namun di mana bandingan kesalahan itu dengan lautan keutamaan dan kebaikannya padamu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَنْظُرُ اللهَ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ زَوْجَهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada istri yang tidak tahu bersyukur kepada suaminya dan ia tidak merasa cukup darinya.”17

Wasiat kesembilan: Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.

Sesungguhnya majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar. Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.

Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian yang lain.” (At Tahriim: 3)

Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab: “Dia keluar mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada Ibrahim: “Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan.” Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: “Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya.” Maka ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail berkata: “Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)

Ibrahim ‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.

Oleh karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu ‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: “Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma`ruf.”

Cukup bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ

“Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya.”18

Wasiat terakhir: Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan-kesalahan.

- Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang yang demikian itu dengan sabdanya:

لا تُبَاشِرُ مَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا

“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu ia mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya.”19

Tahukah engkau mengapa hal itu dilarang?!

- Termasuk kesalahan adalah apa yang dilakukan sebagian besar istri ketika suaminya baru kembali dari bekerja. Belum lagi si suami duduk dengan enak, ia sudah mengingatkannya tentang kebutuhan rumah, tagihan, tunggakan-tunggakan dan uang jajan anak-anak. Dan biasanya suami tidak menolak pembicaraan seperti ini, akan tetapi seharusnyalah seorang istri memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

- Termasuk kesalahan adalah memakai pakaian yang paling bagus dan berhias dengan hiasan yang paling bagus ketika keluar rumah. Adapun di hadapan suami, tidak ada kecantikan dan tidak ada perhiasan.

Dan masih banyak lagi kesalahan lain yang menjadi batu sandungan (penghalang) bagi suami untuk menikmati kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas adalah yang menjauhi semua kesalahan itu.

Footnote:

1Riwayat Muslim dalam Al-Masajid: (bab Fadlul Julus fil Mushallahu ba’dash Shubhi wa Fadlul Masajid)
2Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albany, lihat “Irwaul Ghalil“, no. 1269 dan “Shahihul Jami’” no. 6149
3Lihat kitab “Kaif Taksabina Zaujak?!” oleh Syaikh Ibrahim bin Shaleh Al Mahmud, hal. 13
4Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits hasan gharib. Berkata Al Albany: “Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi.” Lihat takhrij “Misykatul Masabih” no. 5019
5Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29
6Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Al Albany, lihat “Shahihul Jami`us Shaghir” no. 5294
7Riwayat Thabrani dan Hakim dalam “Mustadrak“nya, dishahihkan Al Albany hafidhahullah sebagaimana dalam “Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah” no. 288
8Lihat kitab “Al Kabair” oleh Imam Dzahabi hal. 173, cetakan Darun Nadwah Al Jadidah
9Riwayat Ibnu Nuaim dalam “Al Hilyah“. Berkata Syaikh Al Albany: “Hadits ini memiliki penguat yang menaikkannya ke derajat hasan atau shahih.” Lihat “Misykatul Mashabih” no. 3254
10Hadits lemah, diriwayatkan Hakim dan dishahihkannya dan disepakati Dzahabi. Namun Al Albany mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Illatnya pada Ibnu Sukhairah dan pembicaraaan tentangnya disebutkan secara panjang lebar pada tempatnya, lihatlah dalam “Silsilah Al Ahadits Ad Dlaifah” no. 1117
11Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
12Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
13Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
14Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya 6/118 no. 24908. Aku katakan: Al Hafidh Ibnu Hajar membawakan riwayat ini dalam “Fathul Bari“, ia berkata: “Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari Aisyah.” Dan ia menyebutkannya, kemudian mendiamkannya. Di tempat lain (juz 7/138), ia berkata: “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani.” Kemudian membawakan hadits tersebut. Berkata Syaikh kami Abdullah Al Hakami hafidhahullah: “Mungkin sebab diamnya Al Hafidh rahimahullah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mujalid bin Said Al Hamdani. Dalam “At Taqrib” hal. 520, Al Hafidh berkata: “Ia tidak kuat dan berubah hapalannya pada akhir umurnya.” Al Haitsami bersikap tasahul (bermudah-mudah) dalam menghasankan hadits ini, beliau berkata dalam Al Majma’ (9/224): “Diriwayatkan Ahmad dan isnadnya hasan.”
15Muttafaq alaihi, diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Bad’il Wahyi” dan Muslim dalam “Kitabul Iman“
16Diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Al Haidl“, (bab Tarkul Haidl Ash Shaum) dan diriwayatkan Muslim dalam “Kitabul Iman” (bab Nuqshanul Iman binuqshanith Thaat)
17Diriwayatkan Nasa’i dalam “Isyratun Nisa’” dengan isnad yang shahih.
18Diriwayatkan Muslim dalam “An Nikah” (bab Tahrim Ifsya’i Sirril Mar’ah).
19Diriwayatkan Bukhari dalam “An Nikah” (bab Laa Tubasyir Al Mar’atul Mar’ah). Berkata sebagian ulama: “Hikmah dari larangan itu adalah kekhawatiran kagumnya orang yang diceritakan terhadap wanita yang sedang digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya (menerawang membayangkannya) sehingga ia jatuh kedalam fitnah. Terkadang yang menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana dalam hadits dia atas- maka bisa jadi hal itu mengantarkan pada perceraiannya. Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak terpuji akibatnya.

(Sumber: الأسرة بلا مشاكل karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih. Edisi Indonesia: Rumah Tangga Tanpa Problema; bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema“, hal. 59-82. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah. Penerbit: Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H, dicopy dari http://akhwat.web.id)

Hak Istri dalam Islam


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?

Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”

Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)

Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)

Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:

أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.

Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:

1. Mendapat mahar

Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)

Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا

“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)

2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

3. Mendapat nafkah dan pakaian

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)

Demikian pula firman-Nya:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).

Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)

4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)

adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

5. Wajib berbuat adil di antara para istri

Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا

“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314)

Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)

Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)

6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama

Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)

Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:

ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)

Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

7. Menaruh rasa cemburu kepadanya

Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.

Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.

Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:

لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ

“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”

Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي

“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)

Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”

Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”

Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”

Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)

Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:

1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)

3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)

4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.

Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.

Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)

2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.

Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”

Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, -pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya -kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis -pent.)”-. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”

Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu -ia menyebut beberapa surah-,” jawabnya.

“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, -pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”

3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).

4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)

6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:

فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟

“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”

7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)

8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)

9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)

10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)

12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)

13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).

Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.

Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 33/1428H/2007, Rubrik: Mengayuh Biduk, hal. 74-83. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=524)